USULAN PROLEG
Pembentukan PUU | Program Legislasi | Usulan Proleg
No Judul Peraturan Latar Belakang Unit Penanggungjawab Unit/Instansi Terkait Target Partisipasi Masyarakat
61 Peraturan Menteri PPPA tentang Pedoman Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan Lainnya dalam Penanggulangan Bencana

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, dari hampir 75.000 desa yang ada di Indonesia terdapat lebih dari 53.000 desa atau kelurahan yang berada di daerah rawan bencana. Dalam kejadian bencana tersebut, sebagian besar berdampak signifikan terhadap perempuan dan anak, dan kelompok rentan lainnya terlebih banyak diantara mereka yang mengalami kerentanan berlapis, misalnya kelompok ekonomi rendah, minoritas, perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial, dan lainnya. Selain itu, dalam situasi darurat perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya juga berisiko mengalami kekerasan berbasis gender (KBG) dalam bentuk perkosaan/percobaan perkosaan, penganiayaan seksual, eksploitasi seksual, kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, penelantaran ekonomi, dan praktik- praktik berbahaya. Sehingga, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya sering tersisihkan dalam penerima bantuan, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mengalami diskriminasi, dan lain sebagainya.

Berbagai regulasi telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai acuan untuk melindungi perempuan dan anak dalam situasi bencana namun demikian perlindungan perempuan dan anak masih belum optimal.

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian Negara RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Tentara Nasional Indonesia, Kementerian PUPR 2024 Isi Form
62 Rancangan Peraturan Menteri PPPA tentang Pedoman Standar Lembaga Perlindungan Khusus Ramah Anak

Setiap orang termasuk anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, perlakuan yang merendahkan derajat manusia, dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai komitmen untuk menjamin hak tersebut, Pasal 12 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa urusan pemerintahan pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak merupakan urusan konkuren antara pemerintahan pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan pemerintah pusat dalam Lampiran UU Pemda tersebut yaitu penyediaan layanan bagi Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional.

Penyusunan standar lembaga penyedia layanan ramah anak bagi AMPK ini dianggap mendesak, mengingat masih banyak lembaga penyedia layanan yang belum mempunyai panduan yang baku dalam melayani anak-anak korban khususnya AMPK. Pada akhirnya diharapkan AMPK akan mendapatkan pelayanan, penanganan, dan pendampingan yang terstandar dengan mengutamakan penerapan manajemen penanganan kasus secara cepat, akurat, komprehensif, dan terintegrasi untuk mencegah terjadinya pengulangan kejadian.

Adapun tujuan penyusunan Rancangan Permen PPPA tentang Standar Lembaga Penyedia Layanan Ramah Anak bagi AMPK yaitu sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan layanan yang menerapkan prinsip perlindungan anak melalui penguatan dan pengembangan Lembaga/Unit Perlindungan Khusus Anak menjadi Lembaga/Unit Perlindungan Khusus Ramah Anak (LPKRA) dalam mewujudkan kabupaten/kota layak anak.

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Lembaga yang menangani Perlindungan dan Pengasuhan Anak dengan Disabilitas, Lembaga/Instansi Rehabilitasi yang Melakukan Fungsi Perlindungan dan Pengasuhan Anak baik swasta (LSM), Lembaga Pemerintah yang Menangani Anak Korban NAPZA, Unit Layanan Penanganan Kasus di Satuan Pendidikan, Unit Layanan Penanganan Kasus di Lembaga Kesehatan 2023 Isi Form
63 Rancangan Permen PPPA tentang Panduan Nasional Penanganan Pekerja Anak Berbasis Masyarakat di Desa dan Kelurahan

Pekerja anak merupakan masalah yang penting di Indonesia. Presiden Republik Idonesia memberikan arahan secara khusus kepada Menteri PPPA salah satunya adalah menurunkan angka pekerja Anak dan dimasukkan dalam isu prioritas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam RPJMN 2019-2024. Laporan terbaru di awal tahun 2020 menyebutkan terdapat 160 juta pekerja anak yang terdiri dari 63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki, dan diperkirakan setiap satu dari sepuluh anak di seluruh dunia merupakan pekerja anak, sedangkan setengah dari pekerja anak di dunia atau 79 juta anak melakukan pekerjaan berbahaya yang secara langsung berdampak  pada Kesehatan, keselamatan, pertumbuhan dan  perkembangan anak.
Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik terdapat 1,17 juta penduduk usia 10-17 tahun sebagai pekerja anak pada tahun 2020, naik 320 ribu dibandingkan dari tahun sebelumnya. Secara presentase meningkat dari 2,37% menjadi 3,25%. Kenaikan tertinggi terjadi pada pekerja anak yang berusia 10-12 tahun.
Pada masa pandemi Covid-19 peningkatan pekerja anak terjadi dikarenakan perubahan ekonomi dan kehilangan orangtua yang membuat banyak anak yang menjadi pekerja anak untuk membantu ekonomi keluarga atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Pemerintah telah mengembangkan berbagai upaya untuk memastikan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya, termasuk pekerja anak.
Selain penguatan pada regulasi, Pemerintah juga mengembangkan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), di mana sasaran pengurangan pekerja anak menjadi salah satu indikator penting. Untuk pencapaian indikator tersebut diperlukan keterlibatan masyarakat, antara lain melalui pembentukan dan pengembangan kelembagaan perlindungan anak di tingkat Desa/Kelurahan.
Salah satu contoh kelembagaan yang dimaksud adalah Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil juga telah mengembangkan model-model pemantauan dan remediasi pekerja anak berbasis masyarakat, yang berkontribusi terhadap upaya pencegahan dan penanganan melalui sistem pemantauan yang aktif, komprehensif, dan terintegrasi.
Untuk mendukung percepatan dan perluasan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan pekerja anak, Pemerintah mengembangkan panduan yang menjadi pedoman bagi para pihak, terutama pemangku kepentingan di tingkat desa dan kelurahan.
Panduan ini disusun berdasarkan pengalaman empirik dari berbagai lembaga/organisasi sehingga lebih praktis dan dapat disesuaikan dengan konteks masalah dan situasi di setiap desa dan kelurahan.
Panduan Penanggulangan Pekerja Anak Berbasis Masyarakat ini disusun dengan tujuan: 

  • Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan semua pihak di lingkup masyarakat Desa dan Kelurahan tentang permasalahan pekerja anak, kebijakan, dan upaya penanggulangannya.
  • Memberikan panduan kepada semua pihak di lingkup masyarakat Desa dan Kelurahan dalam melakukan pencegahan, pemantauan, dan remediasi pekerja anak yang berbasis masyarakat

 

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Dalam Negeri, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan 2023 Isi Form
64 RPerpres Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring

Penetrasi internet dan dunia digital terhadap anak semakin luas dan dalam. 92% Anak usia 12-17 tahun di Indonesia adalah pengguna internet yang aktif (Kemen PPPA & Unicef, 2022). Di samping memberi manfaat, diantaranya sebagai sarana belajar terutama saat terjadi pandemi, keterpaparan anak terhadap dunia digital berdampak terhadap keselamatan dan perlindungan bagi anak.
Anak-anak berisiko untuk terlibat dalam pornografi, dimanipulasi untuk eksploitasi seksual, mendapatkan cyber bullying, adiksi, mengalami gangguan kesehatan mental atau bentuk kekerasan lainnya. Persentase cyber bullying di sepanjang hidup kepada perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan maupun di perdesaan 11,57%, sedangkan laki-laki 9,97% (SNPHAR 2021).
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan di Indonesia belum ada yang secara komprehensif mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak di dan melalui dunia maya.
Undang-undang Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014) dan Peraturan turunannya belum secara spesifik mengatur tentang mekanisme melindungi anak dari eksploitasi seksual anak di dunia maya, cyber bullying, adiksi, gangguan Kesehatan mental, pornografi anak, dan penjualan anak melalui dunia maya.
Regulasi terkait teknologi dan informasi elektronik serta dampaknya secara umum tersebar pada berbagai peraturan perundang-undangan dan karenanya tidak menyasar secara langsung kepada upaya perlindungan anak di ranah daring. Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU 12 Tahun 2022) hanya mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik saja. Undang-undang Pornografi (UU Nomor 44 Tahun 2008) hanya mengatur pornografi saja Pesatnya perkembangan dan penggunaan internet serta dunia digital terhadap anak telah diantisiapasi makin membesar dan semakin dalam di masa yang akan datang. Karena itu dibutuhkan suatu kebijakan nasional yang komprehensif, bersifat lintas K/L dan sektor, terencana, terukur dan berkesinambungan. Peta jalan perlindungan anak di ranah daring diharapkan mampu menjadi kebijakan tersebut.

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian Negara RI, Kementerian Koordinator Bidang PMK, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan 2023 Isi Form
65 RPerpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan Tindak Kekerasan Seksual

Berdasarkan data Kekerasan terhadap Anak yang bersumber dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tercatat total 49.141 (empat puluh sembilan ribu seratus empat puluh satu) kasus dengan total jumlah korban 54.366 (lima puluh empat ribu tiga ratus enam puluh enam) Anak, selama tahun 2016-2020.
Sebagai komitmen nasional, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengamanatkan Pencegahan dan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa dalam rangka Pencegahan dan Koordinasi terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disusun kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PANRB, Kepolisian RI, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Sosial 2023 Isi Form
66 RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 80 dan Pasal 83 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual diperlukan payung hukum bagi penyelenggara pencegahan, koordinasi, dan pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang akan digunakan sebagai acuan.
Bahwa pada tanggal 9 Mei 2022, Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-Undang ini merupakan undang-undang khusus tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mampu menyediakan landasan hukum materiel dan formil sekaligus sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Undang-Undang ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan terkait kekerasan seksual. Pembaruan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
  2. menangani, melindungi, dan memulihkan Korban;
  3. melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;
  4. mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
  5. menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

Bahwa UU TPKS mengatur mengenai pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Hak Korban. Koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan kerja sama internasional agar pencegahan dan penanganan Korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif. Selain itu, diatur juga keterlibatan Masyarakat dalam pencegahan dan Pemulihan Korban agar dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. 
Dalam upaya mempercepat upaya pemerintah dalam pelaksanaan UU TPKS, secara khusus terkait pencegahan, koordinasi, dan pemantauan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) perlu memprakarsai penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 80 dan Pasal 83 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual diperlukan payung hukum bagi penyelenggara pencegahan, koordinasi, dan pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang akan digunakan sebagai acuan.
Bahwa pada tanggal 9 Mei 2022, Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-Undang ini merupakan undang-undang khusus tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mampu menyediakan landasan hukum materiel dan formil sekaligus sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Undang-Undang ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan terkait kekerasan seksual. Pembaruan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
  2. menangani, melindungi, dan memulihkan Korban;
  3. melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;
  4. mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
  5. menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

Bahwa UU TPKS mengatur mengenai pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Hak Korban; koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan kerja sama internasional agar pencegahan dan penanganan Korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif. Selain itu, diatur juga keterlibatan Masyarakat dalam pencegahan dan Pemulihan Korban agar dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. 
Dalam upaya mempercepat upaya pemerintah dalam pelaksanaan UU TPKS, secara khusus terkait pencegahan, koordinasi, dan pemantauan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) perlu memprakarsai penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk:

  1. mengupayakan penyelenggaraan pencegahan dan ketidakkeberulangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
  2. mengoptimalkan koordinasi dalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
  3. mengoptimalkan pemantauan dalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PANRB, Kementerian Koordinator Bidang PMK, Kepolisian RI, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Sosial 2023 Isi Form
67 Rancangan Peraturan Menteri PPPA tentang Perlindungan Khusus bagi Anak Korban Stigmatisasi dari Pelabelan Kondisi Orang Tuanya

Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak), maka negara Indonesia terikat baik secara yuridis untuk melaksanakan hak sipil, sosial dan budaya yang termuat dalam Konvensi Hak Anak agar anak dapat tumbuh berkembang serta melindungi anak dari hal yang dapat membahayakan tumbuh kembangnya seperti pelabelan dan diskriminasi.
Dalam melakukan upaya perlindungan terhadap anak, seringkali dihadapkan pada permasalahan dan tantangan, ancaman baik yang datang dari dalam diri anak sendiri maupun dari luar. Salah satu tantangan dari luar yang dihadapi anak yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya adalah stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Meskipun data jumlah anak yang mengalami stigmatisasi atau pelabelan negatif terkait kondisi orang tuanya tidak bisa kita kalkulasi secara jumlah, namun tidak bisa dikesampingkan bahwa di sekitar kehidupan masyarakat kita seringkali dijumpai kejadian atau kasus yang dialami anak-anak yang mendapatkan stigmatisasi terkait dengan kondisi keadaan orang tuanya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena selain masyarakat kurang memahami tentang perlindungan khusus anak dan hak-hak tumbuh kembang anak, tenaga layanan di lapangan agak susah menindaklanjuti kasus-kasus yang diterima karena belum adanya pedoman atau SOP dalam hal penanganan Perlindungan Khusus Anak korban Stigmatisasi terkait dengan kondisi keadaan Orang Tuanya.
Bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan Anak yang Menjadi Korban Stigmatisasi dari Pelabelan terkait dengan Kondisi Orang Tuanya mendapatkan Perlindungan Khusus yang dilakukan melalui Konseling, Rehabilitasi Sosial dan Pendampingan Sosial.
Dalam rangka meningkatkan Perlindungan Khusus bagi Anak yang Menjadi Korban Stigmatisasi dari Pelabelan terkait dengan Kondisi Orang Tuanya perlu diatur secara komprehensif upaya pencegahan dan penanganannya melalui Rancangan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  tentang Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi Korban Stigmatisasi  dari Pelabelan terkait dengan  Kondisi Orang Tuanya.  

Asdep Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Sosial 2023 Isi Form
68 Kesepahaman Bersama antara KemenPPPA dengan Kementerian Agama tentang Rumah Ibadah Ramah Anak, Masjid Ramah Anak, Gereja Kristen Ramah Anak, Gereja Katolik Ramah Anak, Pura Ramah Anak, Vihara Ramah Anak, Lithang Ramah Anak

Belum banyak masjid, gereja, pura, vihara dan lithang yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak yang menghargai hak-hak anak serta melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Pada umumnya masjid, gereja, pura, vihara dan lithang hanya digunakan pada waktu beribadah dan sekolah minggu, banyak ruangan dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak di lingkungan gereja untuk mengisi waktu luang mereka dengan berbagai aktivitas yang positif.

Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katholik, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindhu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2023 Isi Form
69 Kesepahaman Bersama antara Kemen PPPA dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang Pengembangan Informasi Layak Anak Digital

Pada era digital saat ini memungkinkan anak mengakses informasi yang tidak layak dan tidak sesuai dengan perkembangan usia kematangannya sehingga dibutuhkan sistem filtrasi berlapis baik dari keluarga, masyarakat, dan negara.

Dalam rangka filtrasi tersebut, Kemen PPPA telah menerapkan program Informasi Layak Anak melalui Pusat Informasi Sahabat Anak yang membutuhkan sinergi lintas Kementerian/Lembaga termasuk Kemen Kominfo dan Perpusnas untuk mewujudkannya tidak hanya di ranah luring tetapi juga ranah daring.

Asdep Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak Kementerian Komunikasi dan Informatika, Perpustakaan Nasional 2023 Isi Form
70 Permen PPPA tentang Penyelenggaraan Layanan Pemenuhan Hak Anak

Merupakan Permen payung dari seluruh Penyelenggaraan Layanan Pemenuhan Hak Anak, Adapun layanan yang di maksud diantaranya:

  • Pusat Informasi Sahabat Anak
  • Ruang Bermain Ramah Anak
  • PUSPAGA
  • Taman Asuh Berbasis Hak Anak
  • Satuan Pendidikan Ramah Anak
  • Pelayanan Ramah Anak di Puskesmas
  • Pusat Kreatifitas Anak/Rumah Ibadah Ramah Anak

Rancangan Permen PPPA tentang Penyelenggaraan Layanan Pemenuhan Hak Anak telah melalui pembahasan dengan banyak pihak di tahun 2023. Ditahun 2024, Rpermen tersebut telah masuk dalam proses harmonisasi di Kemenkumham.

Asdep Perumusan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Asdep Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak, Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan, Seluruh Pemerintah Daerah di 34 Provinsi 2024 Isi Form

Link terkait
Biro Hukum dan Humas
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak