Konsultasi Penyusunan Naskah Akademis Dan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
28 Mei 2019
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan bahwa Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sebagaimana kita ketahui, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 perihal uji materil batas minimal perkawinan bagi perempuan yang salah satu amar putusanya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan melalui Deputi Tumbuh Kembang Anak bersama dengan Biro Hukum dan Humas melakukan Konsultasi dalam rangka penyusunan Naskah Akademik ke Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan kemudian melakukan audiensi ke Bapak Ali Taher selaku Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada hari Rabu tanggal 12 Juni 2019. Kedua kegiatan dimaksud dilaksanakan dalam rangka mempercepat proses perubahan atas Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak perempuan karena Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Mahkaman Konstitusi Republik Indonesia dalam salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi. Selain itu pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah. dibandingkan laki-laki, maka secara hukum perempuan dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.
Tim Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum,
Biro Hukum da Humas,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
..............................................................................................................
Tim JDIH - Biro Hukum Kemen PPPA